import Image from "next/image"
Rindu Ayah
Karya: Zahabi Khalaf – XI RPL 1
Tulisan ini adalah karya sahabat saya, Zahabi Khalaf, teman satu jurusan di XI RPL 1 SMKN 1 Probolinggo.
Menurut saya, cerpen ini punya makna dalam banget — tentang kehilangan, kasih sayang seorang ayah, dan kekuatan seorang anak yang tetap bertahan meski hidup nggak selalu adil.
Saya merasa cerita ini layak dibaca lebih banyak orang.
Cerpen
Di suatu pagi hari yang cerah, hari tampak berjalan seperti biasa, namun tidak dengan seorang anak yang bernama Reza. Reza adalah anak laki-laki yang sedang merindukan sosok pahlawannya, yaitu Ayahnya. Di jalanan yang sepi, angin berhembus pelan yang langsung menyentuh kulitnya, ia berjalan pelan dengan tampang yang lesu, di tangan kanannya ia terlihat sedang membawa sekantong bunga untuk berziarah.
“kenapa?, kenapa ayah sungguh cepat meninggalkanku?” gumamnya dalam hening.
“padahal aku masih membutuhkan sosok ayah disisiku.”
“apa lagi aku masih kecil.” tambahnya menggerutu.
Tak lama kemudian, ia pun sampai di depan pintu gerbang pemakanan umum, pemakaman yang di gunakan untuk memakamkan ayahnya.
Pertemuan dengan Mbah Rohmat
Ia berdiri di depan pintu gerbang pemakaman ayahnya dengan air mata yang mulai menetes jatuh ke tanah, ia masih tak percaya akan pergi ke tempat seperti itu untuk bertemu ayahnya, yang biasanya bisa bertemu di dalam rumah, sekarang malah bertemu di pemakanan, tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya.
“ayah......, aku datang.” gumamnya sambil menangis pelan, yang kemudian mulai melangkahkan kakinya untuk memasuki pintu gerbang pemakaman.
Di dalam sana ia bertemu mbah Rohmat selaku juru kunci pemakaman tersebut, ia tampak sedang menyapu dedaunan yang tengah gugur pada hari itu. Mbah Rohmat yang melihat Reza pun mulai menyapanya dan menanyakan keadaannya hari ini. Mbah Rohmat juga termasuk orang yang akrab dengan almarhum, jadi ia kenal betul dengan Reza.
“eh, nak Reza apa kabar?, pasti mau mengunjungi ayah yah?” tanya dengan sedikit basa-basi.
“eh, mbah Rohmat, kabar saya baik.” ucapnya pelan nyaris tak terdengar.
“kamu tuh jangan terlalu larut kedalam kesedihan, memang berat rasanya kehilangan orang yang kita sayang, namun kita bisa apa?, kita hanya bisa memberikan do’a terbaik untuk mereka supaya tenang disana.” nasihatnya seraya datang untuk memeluk Reza.
“ngomong-ngomong saya jadi teringat dengan almarhum ayah saya dulu, ia meninggalkan saya tepat disaat umur saya 5 bulan di kandungan, jadi saya benar-benar tidak pernah bertemu dengannya.”
Mendengar penjelasan mbah Rohmat ia jadi sedikit tersentuh, ia yang di tinggal di umur sembilan tahun saja sudah sesedih ini, apalagi mbah Rohmat yang tidak pernah dapat kasih sayang seorang ayah.
“makasih ya mbah, sudah menasehati saya. yasudah kalo gitu saya mau lanjut dulu ke ayah.” ujarnya seraya pergi ke batu nisan ayahnya.
Ziarah yang Penuh Luka
Sesampainya di sana ia masih berdiri untuk menatap batu nisan yang sudah ada tulisan dari nama ayahnya, ia mematung masih tak menyangka. Padahal masih kemarin rasanya mereka bercanda dan tertawa, tapi kini sudah tidak bisa karena ayahnya telah pergi meninggalkannya, bukan untuk sementara, melainkan untuk selamanya.
“ya..., Reza datang.” gumamnya nyaris tak terdengar sembari mengusap air matanya yang terus terjatuh sedari tadi.
Ia pun berjongkok untuk mulai berziarah, dengan tatapan yang kosong, ia pun mulai menaburkan bunga-bunga yang sudah ia bawa.
“kenapa?, kenapa? Ayah ninggalin Reza secepat itu yah?”
“sekarang Reza merasa kehilangan segalanya..., di tambah lagi setelah 1 minggu ayah pergi, ibu menikah lagi, Hiks,hiks,hiks.” ujar Reza yang menjelaskan kehidupannya sekarang.
“Ibu menikah lagi bertujuan agar aku masih punya sosok Ayah, itu kata Ibu. Tapi ternyata..., Ayah tiri ku memperlakukan ku dengan kasar, dia tidak sebaik Ayah..., yang selalu mengajak aku bermain ke mana saja yang aku mau.” ujarnya sambil mengingat perlakuan ayah tirinya terhadap Reza yang sungguh kasar.
Pernah pada suatu hari, disaat libur sekolah, Reza tak sengaja tidur hingga menjelang siang hari, di situ ayah tiri Reza pun murka dan sangat marah, ia membangunkan tidur Reza dengan sangat kasar, dan ketika Reza sudah terbangun, ayah tirinya pun langsung memberikan beberapa kali cambukan menggunakan ikat pinggangnya berbeda dengan ayah kandung Reza yang jelas akan membangunkan Reza dengan pelan dan nada yang lembut. Namun ayah tiri Reza berani melakukan hal tersebut ketika istri atau ibu Reza keluar pastinya, karena kalau tidak, ia akan mencari muka dengan cara pura-pura baik kepada Reza, namun saat tak ada ibu Reza, ayah tirinya langsung berubah sifat seratus delapan puluh derajat. Akan tetapi walaupun perlakuan ayah tiri Reza sangat kejam, tak pernah sekali pun Reza melaporkan ke ibunya, karena ia khawatir akan menambah beban pikiran ibunya.
“ayah..., aku harap kita bisa bersama lagi nanti di syurga.”
Setelah Reza mengatakan hal tersebut, perlahan tetesan air hujan pun terjatuh membasahi bumi, seolah bumi ikut merasakan kesedihan yang di alami oleh Reza.
Pulang dalam Takut
Melihat hujan yang mulai turun dan semakin deras, Reza pun langsung berlari pulang karena ia tahu, kalau pulang dengan keadaan basah, ia akan di marahi oleh ayah tirinya lagi, dan saat ini ia sangat berharap ibunya lagi di rumah, agar ayah tirinya tidak memarahinya, karena saat ia pergi ke pemakaman ibunya sedang menghadiri arisan rutin di kompleknya.
“hagh...hagh...hagh.” ia berlari sangat kencang takut ayah tirinya marah.
Namun saat sampai di rumah, ketakutannya benar saja terjadi, ibunya belum pulang, dan ayah tirinya sudah menunggu di ruang tamu dengan ikat pinggang yang sudah ia pegang.
“DARI MANA SAJA KAMU HA?” teriakan itu mampu membuat Reza sangat ketakutan.
“a-aku dari ayah, om.” selama ibunya menikah Reza memang selalu memanggil ayah tirinya dengan sebutan om.
“DARI AYAH?, NGAPAIN KESANA?, KAMU BERHARAP DIA HIDUP LAGI APA?” ujarnya seraya memecutkan ikat pinggangnya ke Reza.
“aw..., sakit om.” Reza meringis kesakitan, namun ia tak bisa berbuat apa-apa, dan hanya bisa menangis tersedu-sedu.
“GAK USAH NANGIS KAMU, SANA MASUK KAMAR, AWAS AJA KALO KETAHUAN KELUAR RUMAH LAGI.” ia pun menyuruh Reza masuk kamar dan menguncinya di dalam kamar.
Penutup
Di dalam kamarnya, Reza hanya menangis tak kuat menahan rasa sakit dari pecutan ikat pinggang tersebut.
“ayah..., Reza rindu ayah.” gumamnya sembari mengelus-elus kakinya yang memerah bekas pecutan.
Kini air mata itu ia keluarkan semua, sampai-sampai ia membuat bantal tidurnya basah dengan air matanya. Namun walaupun begitu, lagi-lagi Reza menutupi dari ibunya, ia masih takut kalau akan membebani pikiran ibunya, apalagi membuat ibunya bertengkar dengan ayah tirinya, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa cukup dia saja yang merasakan, ibunya jangan.
“Terkadang orang yang kelihtannya pemdiam, bisa jadi sedang memendam luka yang begitu dalam. Maka dari itu, kita harus bisa jadi tempat bercerita untuk mereka, bukan hanya bisa menghakiminya.”
Penulis: Zahabi Khalaf – XI RPL 1, SMKN 1 Probolinggo
Kelas: XI RPL 1 – SMKN 1 Probolinggo
Keterangan: Cerpen ini merupakan hasil kerja kelompok XI RPL 1, sebagai bagian dari tugas Bahasa Indonesia.